Tuesday, September 6, 2011

lebih takut pada akhirat dari pada kelaparan

Perjalanan panjang antara tahu dan memahami adalah proses. Hal itu mengisyaratkan bagaimana kita mencoba bercengkrama dengan hari tentang berbagai hal dan pengarahan. Dan seperti itulah saat kita mencoba menemukan kebenaran. Kebenaran hakiki hanya milikNya. Namun sebagai manudia yang memiliki rasa, cipta dan karsa , kita memiliki banyak peluangg untuk sekedar meraba kebenarannya.

Dan bagaimana menafsirkan kata ‘nasionalisme’ itu. Kata yang mengusik pikirku ketika melihat kampung ini. Pemukiman yang memandangku dengan sebelah matanya. Pemukiman yang membuatku berdesir hati. Seberapa besar pengertian para petinggi negara ketika mereka menyembunyikan hak-hak mereka. Mungkinkah tak mereka sadari diantara makanan mubazir dan gelimang itu sesungguhnya ada air mata dan tangis menderu dari rakyat yang memilih mereka.

Langkahku pelan menyusuri pemukiman ini. Pemukiman yang terlanjur membuatku menangis di balik diamku. Pandangan aneh mereka yang ku balassengan senyum ramah. Namun sejenak aku menengok menemukan sebuah tempat bersih di antara gubuk dan pemukiman yang padat keluhan ini. Tempat yang menjanjikan sebuah petemuan antara hamba dan Rabb nya. Sudut dunia yang tak berpihak. Tempat di pemukiman ini yang mungkin kini semakin banyak tak terjamah. Tempat yang kini kian hari tak di tengok walaupun telah diperindah tangan-tangan iklas para relawannya. Sudut tempat bernama mushola.
Tertata diri dalam wudhu. Aku bersuci dengan air seadanya. Mencoba menerka bagaimana datangnya air bersih ini di tengah pemukiman yang tidak bersahabat dengan kata bersih dan rapi ini. Namun ku tepis segalanya mencoba mencari keridhoannya dengan menyelesaikan urusan dunia dan kembali bersuci untuk mengundung cinta yang tak bertepi diantara hamba dan penciptanya.

Sesaat aku bersimpuh mencoba sedikit menelisik hati. Pelaksanaan sholay ashar dalam kegalauan diri dan pencarian tiada henti dalam arti kehidupan. Sesungguhnya kita hanya perlu melihat dan sadar. Karena segalanya telah tergelar lebar. Hanya kita kadang sering ‘melenakan’ diri dalam sebuah anggapan bahwa itu bukan urusan kita.lalu itu urusan siapa kawan?

Ketika para petinggi itu tak lagi bisa di percaya kata mu dulu.ketika teriakanmu keras di depan gedung mereka. Apa aku cukup keras tenaga untuk meringankan beban kaum yang kau wakilkan suaranya. Ketika tenagamu cukup untuk berorasi. Apa kaupunya sedikit tenaga untuk sekedar mrngajari mereka yang kau bicarakan belajar menulis dan membaca.

Mereka mungkin tak tahu akan perjuanganmu di medan aksi di sana kawan, karena mereka memang tak merasakan keberadaamu.mendekatlah.. tanamkan kebahagiaan dan perenungan dalam kesenjangan antara mereka. Berikan mereka sedikit waktu untuk mengenalmu. Pencoba percaya pada sisi dan sisi keteladanan dirimu yang kau miliki. Berikan mereka waktu untuk tau begitu berharganya ilmu untuk di kejar hingga gelar demi gelar kau ujung keberadaannya.

Tak habis cinta yang ku berikan padaNya. Cinta antara hamba dan Rabbnya. Cinta pada kesadaran dan segala kenikmatan atas rahmatNya. Merebah diri dalam keiklasan dan kegalauan yang sama . ku putuskan untuk melanjutkan perjalanan ini.karena hari hampir senja.

Namun ada kehendak dunia yang membuatkuku melihat seorang kakek. Tubuhnya yang renta tengah membuat mainan kecil berbentuk mobil di pinggiran teras mushola ini. Senyuman itu membuatku tak kira dalam ketulusan yang di milikinya. Mencoba mereka gerangan apa yang membuat gelimang bahagia itu menyusuri gurat renta dan tubuh ditelan usia itu.

Disana perbincangan itu di mulai. Hidup yang membuatnya harus merantau ke jakarta. Hidup yang membuatnya memilih untuk melupakan masa lalunya ketika ditinggal seseorang terkasihnya di kampung halaman. Hidup yang di syukurinya karena dapat menemukan dunia kecil diantara gemerlap jakarta dan Islam yang di genggamnya.

Dalam hidup yang sebantar di jalaninya. Di habiskan dalam pengamdian tanpa celah antara mushola kecil ini dan tatanan dunia untuk sesuap nasi dalam maninan mobil-mobilan ini. Namun ia tak perduli, ia hanya bersyukur telah memiliki waktu untuk sekedar berbagi ilmu dengan anak-anak di sekitar sini setiap senin rabu dan sabtu sore dengan mengajari mengaji. Dia cukup mengerti antara hidup dan penghambaannya hanya berahir nanti dengan kain kafan yang disiapkannya. Dan hidup ini mungkin tak akan abadi hingga tak salah bila dia lebih takut pada akhirat dari pada kelaparan.

Jika itu pula yang di pikirkan pejabat kita mungkin tak ada korupsi..

magelang, 23 agustus 2011..
'pinggiran.. '

1 comment: