Monday, May 14, 2012

Sekilas tentang Kita..

Langit itu mulai kemuning di ufuk barat. Menandakan waktu yang beranjak sore. Namun ada seseorang gadis berkerudung ungu muda yang masih enggan beranjak dari peraduannya berselimut kenyamanan. Nampak tak ingin di ganggu dunia. Walau tanpa di pinta dunia akan selalu hadir dalam pikirannya. Namun kali ini dia tau ada berbagai cara untuk melawan pemikirannya sendiri.

 Sekelebat wajah kembali ke pikirannya. Ada yang nampak menghujam gundah dan membuatnya terdiam. Tak ada yang tau dan berkata namun dia merasa. Bahwa akan ada yang terjadi. Ada yang akan membuatnya meneteskan air mata. Walau ia tak tahu entah itu apa.

“woy..” sapa salah seorang kawan sebari menepuk pundaknya.

 Senyum cerah ratih nampak menyapa sanubari dengan kerindangan yang tak tergantikan.

“Assalamualaikum,kasian bukunya ,kalo di buka tapi yang baca pikirannya kemana mana” ucapnya sebari mengambil tangan gadis itu dan bersalaman dengan riangnya.

“waalaikumsalam” ucap gadis itu singkat sebari seutas senyum di parasnya.

 Bukan tak ingin menjawab apa yang di katakan ratih. Namun memang dia tak ingin berkata apa-apa. Takut apa yang di katakannya tak sesuai dengan inginnya. Atau nanti akan menyinggung apa yang dirasakan oleh sahabatnya. Gadis manis berkerudung muda itu bernama Anissa.

Entah apa yang berada di pikirannya hingga ada sejumput keraguan untuknya menegur saudara seimannya. Ratih menjadi teman seperjuangannya di sini. Teman diantara saudara yang senantiasa bersamanya dari keluguanya hingga kini mulai mengeja dunia.namun seakan semuanya nampak berbeda. Waktu mengubah seorang yang dulu tumbuh dan berlaku sekayaknya apa yang kami ketahui kini mulai menghujan diri kami sendiri. Anissa tahu benar bagaimana Ratih mengenal sosok lain dalam hidupnya.

Sosok yang membuat Ratih berbinar setiap namanya di sebut. Dan membuatnya tak enggan mengumbar cerita di tengah perbincangan kami. Namun kini rasanya... keluguan kami di kalahkan oleh ..

“kamu kenapa sih nis?” tanya Ratih sebari menepuk tangan Anissa.

Annisa tersenyum dan menutup bukunya. Nampaknya dia sudah cukup untuk berlaku polos selama ini. dan Ratih tak mengenalnya lebih dalam untuk tahu bahwa ada yang berbeda di antara mereka.

“Ijinkan aku untuk berbincang tentang kita?” Ratih mengerutkan dahinya. Mencoba mencengkeram wajah Anissa. Mengembalikan ingatannya kapan Anissa berwajah seperti ini sebelumnya.

Namun ingatannya mengepul begitu saja. ia hanya menemukan Anissa yang ceria dan selalu memberikannya celetukan gombal dan guyonan sekadarnya.

“apa itu?” akhirnya kata itu yang keluar dari Ratih.

“kita tak lagi lugu.. kau dan aku tahu benar bagamana menjaga diri dan jilbab ini. bukan hanya tentang amalan atau untaian kata. Namun juga sikap dan kejujuran”

Deg .. Ratih tertegun. Tangannya reflek memegang ujung jilbabnya. Ia tahu kini. Tak ada lagi yang di pikirkannya selain itu. Ini mungkin .. bukan ini pasti tentang Mas Badi.
“bukan maksudku untuk mencampuri kehidupan pribadimu. Namun ada sejuta cinta yang ku haturkan bukan hanya milikku namun juga mbak dan mereka yang menjaga kita. Untuk tetep berada di jalannya.mungkin kami yang salah. Tak memperhatikanmu hingga menaruh harap untuk di perhatikan oleh orang lain. Maafkan aku ya” ucap Anissa dan sejenak di hentikan oleh angin.

 Anissa membiarkan angin berada di antara mereka. Menyusuri setiap jengkal kesadaran diantara mereka. Mungkin Anissa yang terlalu perasa dan sok tahu dengan keadaan. Atau Ratih yang tak mau tau tentang teguran halus dan jarak yang coba di siratkan oleh lingkungannya.

“Astafirullah.. aku khilaf. Bukan itu maksudku.. aku hanya..” Ratih yang terisah di balik tundukannya. Anissa mendekat dan memeluknya. Membiarkannya terisak dahulu. Membiarkannya jatuh dalam tangisnya jika memang itu akan membuatnya lega dan kembali dalam menerima apapun dengan iklas nantinya.

 “bukan aku tapi Allah.. Dia yang Maha Besar atas segala ampunan yang kau pinta..” Satu masa akan selesai. Kami mulai kembali di dewasakan oleh keadaan. Karena lalainya saudara kita bisa jadi bukan karena dia khilaf, namun karena kita enggan mendekat dan memberikan ruangnya untuk memeluk dan menyandarkan bahu untukknya berkeluh kesah.

Anissa atau Ratih hanya simbol. Mereka mungkin ada atau mungkin berada di antara kita.
Entah itu akhwat atau ikhwan. Mereka yang khilaf karena sudah terlanjur berada pada budaya ‘afwan’ dan ‘maklum’ yang seharusnya mampu di tempatkan di tempat yang tepat. “saudara bukan mereka yang tertawa saat kau menangis. Saudara bukan mereka yang menangis saat kau tertawa.


 Namun mereka juga bukan yang ikut terjatuh saat kau terjerembab, karena mereka akan tetap tegar dan tegak berdiri.. untuk menatihmu kembali berdiri dan belajar berlari lagi” arma –unnes

No comments:

Post a Comment