Teringat aku pada suatu masa yang telah jauh ditinggalkan, cerita kala itu 2016, ketika setiap pagi menyambutku bukan hanya dengan cahaya matahari, tapi juga dengan serangkaian peristiwa kecil yang membentuk hidupku. Tak ada yang istimewa bagi dunia, namun bagiku, tiap langkah, tiap hirupan udara pagi, adalah bagian dari ritual yang menenangkan. Aku menatap hari dengan mata sederhana, memeluk waktu dengan tenang, dan membiarkan semuanya mengalir sebagaimana mestinya. Segala hal, entah itu tawa, lelah, atau kebingungan, hadir bersamaan, menyatu dalam keseharian yang akhirnya kucintai tanpa syarat.
Ruang itu—yang tak pernah berbicara, namun mencatat segalanya—menjadi saksi setia. Di sanalah aku berangkat dengan jaket tebal dan tas punggung yang lusuh namun penuh makna, berjalan menyusuri lorong sepi yang seolah enggan melihatku lagi untuk kesekian kalinya. Aku mengetik di sudut kecil dengan mesin yang tak mengenal teknologi tinggi, tapi mengenang setiap cerita yang kutuliskan. Membuka pintu dan menggulirkan korden pagi dan sore hari menjadi rutinitas kecil yang tak pernah kupikir akan kurindukan—dan nyatanya, kini ia menjadi bagian dari nostalgia yang paling manis.
Kini aku berdiri sebagai versi diriku yang baru—dengan segala lebih dan kurang yang kuemban—dan dalam diam aku bersyukur. Sebab kebiasaan-kebiasaan sederhana itu telah menempa jiwaku, membentuk cara pandangku, bahkan menyusun tiap lapisan kesabaran yang kini kupunya. Masa itu telah berlalu, namun tidak hilang. Ia hidup dalam ingatan, dalam detak jantung yang pelan-pelan mengamini bahwa tak semua hal harus megah untuk berarti. Terkadang, justru yang paling diamlah yang paling mengakar—dan masa itu, ruang itu, lorong itu, adalah akar dari siapa aku hari ini.

No comments:
Post a Comment