Friday, August 5, 2011

Menjelang malam

Dunia meredup petang . simfoni mentari beradu dengan temaram. Namun ada satu tatap harap tetap berada disana. Di sudut stasiun dengan segenap sisa harapan. Matanya redup. Bila terlihat gurat raut itu menggambarkan perjuangan yang bahkan tak akan tercurahkan lewat kata. Disamping keranjang yang lapuk itu menjajakan jajanan pasar, yang sedari pagi tak dilirik seorangpun yang melewatinya.
Tangan itu mengambil ujung kain yang entah sedari kapan dimilikinya. Wajah itu menyiratkan kepasrahan. Dan tak memiliki raut pinta berlebihan. Hanya semoga di akhir hidupnya bisa tersenyum. Ada foto yang terselip di balik tumpuan jajanan yang dijualnya. Foto lapuk yang telah di makan usia.
Seorang lelaki setengah baya dan wanitanya yang menawan di sampingnya menggendong seorang bayi.
“pak, sepertinya tak lama lagi kita akan bertemu’ gumamnya dalam bisik.
Di selipkannya kembali foto itu di tempatnya. Menajamkan kekuatannya untuk kembali membawa jajanannya.
Langkah pelannya menyusuri pinggir stasiun. Perlahan terlintas banyak kenangan yang datang. Dari mulai ia meniti mimpi di desa dengan suaminya hingga anak yang di banggakannya meninggalkannya tak berkabar. Kini temaram lampu menjadi teman tanpa suara dalam gelap. Gumam doa yang di panjatkannya. Mengisyaratkan kebungkaman hati yang tak bertuankan kepastian.
Di rebahkannya badan di sudut kota. Bertebing kecuraman kota dan kesombongan angkuh takdir. Di batas peradaban antara kehidupan atau melesat keambang keabadian. Dia hanya melihat gemerlap bintang. Bertemankan suara berisik penjada stasiun yang bersautan meneriakan dukungan pada permainan bola malam ini.
Mata wanita tua itu berkedip pelan. Dalam diam dan sejenak mengumamkan syukur atas hidupnya, nafasnya pelan. Nadinya melemah dan ia menutup mata. Seiring hembusan angin kota. Diam dalam kesunyian peradaban. Tak berbekas dan bertuankan senyuman.

Diam dalam kesunyian peradaban
Magelang, 2 agustus 2011
23: 41

No comments:

Post a Comment