Wednesday, August 10, 2011

Hanya canda dunia..

Mengapa aku dulu sering miris sendiri saat tengah tergelak di tengah canda teman sebaya namun ditanganku tak lepas bacaan yang mengutip peristiwa dan ketimpangan tentang kebobrokan bangsa.

Yang karena itu aku dipandang aneh dan terkadang di kucilkan di sudut kelas karena tak diberi uang sangu oleh ibuku. Perasaan sendiri dan terdiam inikah yang juga pernah di alami mereka. Yang murni berpikir bukan karena diberi uang. Mereka yang sadar namun ingin bertindak bukan hanya sekedar mmebuang kesadaran mereka.

Pemuda peradaban bernama soe hok gie di sudut kamarnya yang temaram, soekarno di penjara dan tan malaka di perenungannya. Siapa aku mencoba meneliti hati mereka, sedangkan uang saja aku masih membebani ibu dan bapak yang kadang harus mengikat sabuk lebih kuat untuk membayar kuliah.

Terlibat dalam malam, seringnya aku berpikir tentang mereka yang berjuang di tanah kebun itu dengan gulir-gulir keringat hanya di tangguhkan dengan balasan seadanya. Namun yang dipilihnya sebagai wakil rakyat malah tertidur di kursi nyaman menjual pilihan rakyat dan meletakkan harapan rakyat di awang-awang gedung yang hijau itu.

Kenapa aku tak bisa menjadi anak yang biasa saja yang berpikir tentang canda dan kehidupan mereka sendiri. Dan lebih kerap menggigil di sudut kamar kamar oleh terkaman pemikiran yang membuatku kadang tak terkendali oleh diriku sendiri dan menenggelamkanku dalam kebingungan tanpa alasan. Apa aku yang terlalu aneh untuk mengetahui semua ini, aku yang lebih suka memandang temaram senja dan menempatkannya dalam kesunyianku sendiri.

Ketika hatiku berkata dan bertindak, disanalah aku menemukan Islam dan keteduhannya. Hingga perjanjianku dengan hati tak menampakkan apa yang sering di serukan ibu karena aku tak biasa. Aku memang tak biasa, bahkan ibu yang memelukku erat saat aku panas dingin untuk sekedar menentukan sikap pada keputusanku berkerudung.

Apa yang membuat itu terasa berbeda dan memiliki arti saat si cantik, Al Quran pink yang selalu menemaniku di sepanjang perjalanan ini menjadi tak lepas dari tetes dan tetes air mata yang ku curahkan sebagai pencerah diri hingga akhirnya terobati sendirinya. Apa yang membuat hatiku tersenyum lebih cerah ketika melangkah menuju masjid setiap subuh tiba dan mengabadikan satu doa pada langit bertabur bintang nan langit yang bersih itu.
Ataukan aku tak pernah tahu..
Atau hanya pura-pura untuk tidak mau tahu..

Semarang, 9 agustus 2011
22:40 pm

No comments:

Post a Comment