Monday, June 18, 2012

SERUNI (part 4)


Senyuman Seruni mengembang seiring dengan sampainya dia di toko buku langganannya. Sedetik kemudian di memejamkan mata. Aroma buku yang menggoda mengajaknya berdendang sendiri dalam hati. Rejeki sungguh rejeki.
Tak disangka mengikuti acara lompa penulisan dan kemudian memenangkannya walaupun tidak juara pertama. Setidaknya dapat membuatnya menambah jumlah koleksi buku untuk perpustakaan kecilnya.
“Uni.. “ sapa seorang akhwat cantik secari menepuk pundak Seruni.
“Assalamualaikum. Mbak Icha” sapa Seruni sambil bersalaman dan mengecup pipi kanan dan kirinya.
“Waalaikumsalam.. ngapain merem merem gitu nyari wangsit buat ide nulis lagi biar menang lagi gitu?” canda mbak icha, salah seorang penjaga jualan buku di dekat masjid kampus tersebut.
“ah.. mbak icha ini tau saja.. nyari wangsit mau ngelarisin dagangannya mbak nih..” jawab seruni yang kemudian di lanjutkan dengan cubitan kecil mbak Icha mendarat di pipinya.
“iyaa iyaa... sana pilih pilih dulu.. nanti ada diskon khusus untuk adik ku yang satu ini?.”
Mata seruni begitu berbinar. Sebari memberikan sinyal dan isyarat Oke pada mbak icha.
Tak lama memilih buku dan di bayarnya di meja kasir. Seruni tersenyum saja ketika pertanyaan mbak icha kembali terlotar dengan nada yang sama dengannya.
“uni, bagaimana kabarnya ratih?” tanya mbak icha
“pasti ada jalan terbaik yang akan di pilihnya, makasih mbak diskonnya.. uni pamit.” Ucap unni sambil mengecup kedua pipi saudara seimannya itu dan kembali mengiringi langkahnya berjalan menjauh dari masjid kampus.

Jalan ini nampak remang dari biasanya. Senja menjadikan jalan ini mungkin menghadirkan kenangan yang telah terlewat. Baik Seruni atau ratih bukanlah orang yang sempurna. Namun keduanya punya banyak kesempatan untuk terus berusahan lebih baik. Dan kini apakah semua hanya sekeda kenangan yang tak pasti adannya?

Dan terdiam Seruni di ujung jalan. Ketika di lihatnya seorang saudara yang begitu di sayanginya tengah duduk berdua dengan salah seorang senior. Tak sanggup hatinya untuk menerima namun tangan dan kakinya hanya terdiam dalam dalam. Di balikkannya badan. Tak mempu memangdang keduanya yang tengah bergumam sebari membentangkan koran di sudut kampus.
“mereka memang sering berdua. Makan bareng. Keluar bareng kalo malam sampai cubit cibitan. Aku juga bingung seruni untuk menegurnya” 
Kata kata salah seorang kawan tentang kelakuan saudaranya itu begitu nampak menyakitnya.
Ada yang terluka yang menyakitkan walau tak berdarah. Tangan dan kakinya berdiam namun hatinya menjerit. Ia tak kuasa berkutat dengan hal ini. hatinya kian tak menentu untuk menerima bahwa saudara yang sekian kali menggaungkan tetang izzah dan kelengkapan penjagaan tentang keistimewaan seorang perempuan. Malah seakaan menjilat ludah sendiri dan menjadikan dirinya sendiri terjerembab pada cintanya yang belum halal.
Seruni mengambil langkah menjauh. Hatinya tak cukup kuat untuk melihat kedua orang itu lebih lama. Tertatih di jauhinya kedua orang yang tak bersahabat dengan akhlak yang seharusnya tidak di lakukan. Sungguh memalukan untuk mereka. Yang di lihatnya bukan orang lain. Namun saudara seiman yang di cintainya. Ratih.

No comments:

Post a Comment