Kota Semarang, kota yang tak pernah benar-benar tidur, selalu menyisakan denyut kehidupan di setiap jengkalnya. Bahkan di tengah malam yang sunyi, kau bisa menemukan sepasang mata yang saling menatap di sudut stasiun Tawang, atau tawa yang mengambang di antara kepulan asap angkringan di pinggir jalan. Ini bukan hanya tentang kota dengan gedung-gedung tua dan lampu jalan yang temaram, tapi tentang tempat di mana waktu seperti berjalan lebih lambat agar setiap perjumpaan sempat dikenang. Semarang menyimpan cerita tanpa harus berkata-kata, dan setiap jalanannya adalah narasi yang belum selesai.
Ada sesuatu yang ajaib tentang bagaimana kota ini memeluk setiap yang datang, entah untuk tinggal sebentar atau selamanya. Di antara hujan sore yang turun pelan-pelan di Simpang Lima dan aroma wedang ronde yang menghangatkan malam, Semarang diam-diam mencatat pertemuan-pertemuan yang mungkin tampak sepele, namun begitu membekas. Seperti kau dan aku yang pernah duduk di bangku taman, menyebut nama-nama bintang yang tak kita kenal, lalu diam-diam berharap waktu tak bergeser. Tapi waktu berjalan, dan kota ini pun berubah, tak lagi seperti dulu—meskipun jejak-jejak kita masih tertinggal samar.
Semarang adalah tempat di mana banyak hal bermula, dan sayangnya, banyak pula yang berakhir. Ia menjadi saksi bisu dari banyaknya perpisahan yang tak sempat diucapkan dengan kata, hanya dengan pandang mata yang perlahan menjauh. Kita pernah menyebutnya rumah, tapi pada akhirnya hanya menjadi persinggahan. Namun bukankah kota yang baik memang begitu? Membiarkan kita tinggal sejenak, meresapi semuanya, lalu pergi dengan setengah hati tertinggal?
Di kota ini, banyak definisi telah kita ciptakan—tentang rindu, tentang pulang, tentang yang tak pernah selesai. Kau meletakkan makna cinta di gang kecil dekat kampus, dan aku menyembunyikan kehilangan di tangga masjid tua yang ramai tiap magrib. Semarang bukan lagi sekadar nama kota, ia berubah menjadi halaman buku yang tak kunjung rampung. Setiap sudutnya menyimpan rahasia yang tak sempat kita bagi, dan setiap kenangan di dalamnya telah menjadi milik kota itu sendiri.
Namun pada akhirnya, seperti hal-hal indah yang tak bisa selamanya kita genggam, kenangan tentang Semarang pun perlahan pudar. Tak bisa dihindari, meski kita mencoba untuk tetap mengingat. Kota ini tetap hidup, terus bergerak, sementara kita—dulu bagian dari denyutnya—telah menjadi pengunjung yang sesekali mampir dalam ingatan. Tapi begitulah Semarang, kota yang tak pernah benar-benar sama, namun tulisan ini tidak selalu tentang Semarang.

No comments:
Post a Comment