Ramadhan tahun ini datang dengan cara yang tak biasa. Ia hadir tanpa gemuruh, namun membawa tantangan yang seakan mengajak untuk berlomba—bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri sendiri. Ada pertarungan sunyi yang berlangsung tiap hari: melawan rasa malas, membungkam suara putus asa, dan berdamai dengan kenyataan bahwa tak semua yang diinginkan bisa segera diwujudkan. Ramadhan ini terasa seperti cermin, memantulkan bayangan diri dalam bentuk paling jujur—lelah, namun tetap berharap.
Ada banyak hal yang terjadi sepanjang Ramadhan ini. Beberapa deadline yang terasa berat akhirnya selesai juga, tepat di titik saat aku ingin menyerah. Tapi seperti biasa, hidup menyelipkan kejadian-kejadian tak terduga, seolah ingin menguji: sekuat apa kamu ingin tetap berdiri? Dan di tengah padatnya hari, aku masih sempat menunduk dalam diam, memeluk doa-doa yang tak pernah benar-benar usai.
Namun, tidak semua mimpi bisa dijemput. Ada yang harus dilebur bersama rencana-rencana yang bahkan belum sempat dilaksanakan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar digenggam. Pahit, tapi nyata. Aku belajar bahwa tak semua hal yang diperjuangkan akan berakhir dengan kemenangan, dan tak semua rencana akan mendapat panggungnya di dunia nyata.
Hidup, bagaimanapun, terus berjalan. Ia tak menunggu kita selesai menangis atau siap untuk mulai lagi. Ia terus bergerak, dan kita dipaksa mengikutinya, meski langkah kaki masih gemetar. Dalam langkah-langkah berat itu, aku mulai paham: bahwa kehilangan bukanlah akhir. Justru, ia adalah ruang kosong yang menanti untuk diisi oleh hal-hal yang lebih baik.
Beberapa hal memang harus pergi agar ruang hati kembali lapang. Beberapa luka memang harus dibiarkan mengering agar cerita baru bisa dimulai. Dan meskipun hari-hari ke depan masih diselimuti misteri, ada satu hal yang bisa diyakini—bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya pulang. Bersama cerita baru, bersama orang baru, bersama versi diri yang lebih utuh.
Masa depan tetap menjadi teka-teki. Ia tak pernah memberi bocoran tentang apa yang akan datang. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menyusunnya dengan harapan. Kita mungkin tak tahu jalannya, tapi kita bisa memilih untuk tetap melangkah. Sebab harapan itu seperti cahaya kecil di kejauhan—cukup untuk menuntun satu langkah hari ini, dan satu lagi besok.
Kita semua sedang berkejaran dengan waktu. Dengan realitas yang tak bisa ditukar dengan apapun atau siapapun. Tapi bukankah itu indah? Bahwa dalam keterbatasan itu, kita tetap memilih untuk bertahan, tetap memilih untuk bermimpi. Ramadhan ini bukan tentang seberapa banyak kita capai, tapi tentang bagaimana kita terus memilih menjadi lebih baik—meski perlahan, meski tak sempurna.


No comments:
Post a Comment