Tuesday, November 8, 2011

Sudut lain dari Idul Adha.

Bagaimana memaknai arti ‘berkorban’ dalam artian sebenarnya maupun makna yang terselip di dalamnya. Setiap peringatan maupun sebuah sejarah agung yang di ukirkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pada sebuah kepatuhan luar biasa pada perintah Tuhannya.
Namun sebuah aplikasi terkini semua bagai terbolak balik. Mereka yang mengaktifkan sinyal sinyal kreatif dengan manfaatkan suasana dan memborong ‘wajah-wajah publik’ dengan korbannya. Semua adalah siluet wajah dunia saat ini yang tak pernah jadi ‘putih’ seperti yang dulu.
Namun yang ku lihat hanya abu-abu dunia. Seperti banyaknya berita tentang kericuhan itu. Tentang banyaknya masyarakat saling limbung pemikiran dan kemudian berjatuhan di depan masjid karena berpikir dan menilai begitu berharganya setengah kilogram daging.
Namun inilah potret Indonesia yang sesungguhnya. Bagaimana kita bisa lebih legowo untuk membagikan daging itu ke rumah. Para mereka yang berkorban dapat menilai mana yang tepat untuk mendapatkan daging kurbannya dan berinteraksi langsung dengan mereka yang kaum duafa.
Ada sudut baik yang di rencanakan pemerintah dengan mengkoordinir adanya ‘idul adha’ ini. bagaimana kita sebagai manusia yang malah berpikir tak lain dengan salah paham. Dengan banyak pertimbangan atau malah bisa di katakan persangkaan buruk?
Idul Adha selalu manis nampaknya,kita berkumpul adanya keterikatan dengan kaum ‘berpunya’ dan kaum yang ada di bawah. Adanya saling interaksi dengan adanya kaum yang mampu untuk berkorban dengan sapi maupun kambing tersebut , dengan mereka yang nantinya akan menerima daging kuban tersebut.
Bukan kartu kupon yang dingin dan angkuh. Bukan kartu kupon yang membuat mereka datang dan bagai mengemis daging. Namun uluran tangan hangat dan kemudian menerima dengan hati lapang.
Bukan mereka yang harus mengantri dan terinjak ijak hati dan raganya. Hingga malah bukan rasa bersahabat namun di lecehkan di dada.
Bukan mereka yang menjual kembali daging kurban itu. Dan mendapatkan uang untuk meletakkkannya di yang tidak semestinya. Namun untuk bisa menimba makna dan dapat menikmatinya dengan keluarga.
Adakah mereka mampu berpikir jauh jika ini semua dapat di koordinir dan daging kurban dapat di terima oleh yang memang berhak di terima?.
Atau mungkinkah ini memang potret Indonesia??

No comments:

Post a Comment