Tuesday, February 7, 2012

tentang senja ~


Kembali ke kota kelahiran. Melintasi jalanan yang mulai sepi karena guyuran hujan yang baru saja padam namun masih meninggalkan mendung yang berganti dengan petang yang sesungguhnya. Siluet senja menjajakan dinginnya kesombongan kota. Gedung mewah dan bersenjata gemerlapnya. Dan yang lainnya tengah sibuk menata baju megahnya. Tanpa mengingat mereka yang meradang dan membahana dengan pekik merdeka sebari menekan erat perut mereka.

Hari menjelang dalam jenakanya. Namun ada yang lain kali ini, karena libur kewajiban. Ada banyak torehan pinta yang harus ku sudahi untuk kembali ke rumah . namun ku pastikan langkahku tak berhenti. Dan pikirku tak tumpuk otak serta tak mati hati.

Langkahku terurai pada jalanan pasar yang biasanya jarang ku lewati. Teremang dalam keinginan untuk menjalin kenangan dalam senja yang menemani dengan senyum malunya.namun aku menemukan harta lain.sambutan dingin dengan sejajar dengan lirikan sadis mereka.

Dimana dunia ku yang menebar keindahan dan keinginan untuk berbagai. Atau aku malah hanya bermimpi. Itu hanya si imajinasiku saat masih belia dunia. Aku masih tak mengerti akan arti hari. Ini hanya kota kecil di sudut pulau jawa. Belum lagi jika aku melihat ibu kota atau lebih jauh mungkin ibu pertiwi bukan hanya menangis melihat ini. anak jalanan atau lagu serampangan mereka. namun juga melantunkan lagu sedih dan menangis menjerit.”Asalkan bukan lagu boy band” itu sedikit pesan salah seorang kawan padaku.

Namun bagaimana keadaan kah yang membuatmu tak lagi mengerti. Tentang keadaan tentang pemahaman. Kurang mengerti tentang apa yang kau tak mengerti lagi. Apa yang cukup dan kurang kau inginkan untuk di pahami dari banyak hal yang ada di sekitarmu. Dari mulai kesenjangan hingga tidak ada lagi ketauladanan nyata di sekitar kita.

Bapak bapak rakyat yang katanya membela dan mewakili, malah sibuk memperkaya diri. Mereka yang dulu merenda mimpi kini menghujam nyata kemunafikan diri. Mereka yang dulu meminta dukungan kini menendang tanpa kasihan kami yang memeluk lapar. Mereka yang dulu di puja kini mengamuk rakus harta tanpa melihat kami yang menanti hidup tanpa kepastian.

Ini baru kotaku yang kecil. Ini belum ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Ini belum apa apa dibandingkan mereka yang melata mencari kepingan

kepingan rupiah tanpa tau apa yang akan terjadi esok hari. Ini belum mereka yang merenda khayalan tanpa di tanggapi kehidupan.
Ini bukan ibu kota yang gemerlap ketika malam hari sedangkan ada sosok mengingil menanti mati di bawah jembatan.

Pengemis tua di ujung jalan itu tertunduk dengan kaki tuanya yang berhimpit menyaksikan gemericik hujan. Memandang dengan kesederhanaan namun bersaing dengan gelak tawa pedagang dan sekumpulan ojek yang ada disampingnya. Namun perdulikah mereka bahwa ada yang kelaparan di sudut sana.

Takkah aku melihat realita ini . atau memang harus begini? Inikah yang maksud seimbang kawan. Mungkinkan ku temukan jawaban dan definisi kata seimbang. Namun akankah ini lambang keseimbangan atas ketimpangan sosial yang ada di sekitar kita ini. benarkah harus ada yang miskin untuk ada yang di katakan kaya. Haruskah ada yang sedih saat akan mengatakan bahagia.

Atau aku memang harus belajar pasrah.

Toh nantinya ada pemerintah yang akan memperbaiki keadaan.
Untuk apa ada pemerintah dan menunggu jiika kita mau menolong saat ini. kenapa tidak?
Apa yang kau ragukan lagi?

Magelang. 29 desember 2011

No comments:

Post a Comment