SERUNI (part 4)
Senyuman
Seruni mengembang seiring dengan sampainya dia di toko buku langganannya.
Sedetik kemudian di memejamkan mata. Aroma buku yang menggoda mengajaknya
berdendang sendiri dalam hati. Rejeki sungguh rejeki.
Tak
disangka mengikuti acara lompa penulisan dan kemudian memenangkannya walaupun
tidak juara pertama. Setidaknya dapat membuatnya menambah jumlah koleksi buku
untuk perpustakaan kecilnya.
“Uni..
“ sapa seorang akhwat cantik secari menepuk pundak Seruni.
“Waalaikumsalam..
ngapain merem merem gitu nyari wangsit buat ide nulis lagi biar menang lagi
gitu?” canda mbak icha, salah seorang penjaga jualan buku di dekat masjid
kampus tersebut.
“ah..
mbak icha ini tau saja.. nyari wangsit mau ngelarisin dagangannya mbak nih..”
jawab seruni yang kemudian di lanjutkan dengan cubitan kecil mbak Icha mendarat
di pipinya.
“iyaa
iyaa... sana pilih pilih dulu.. nanti ada diskon khusus untuk adik ku yang satu
ini?.”
Mata
seruni begitu berbinar. Sebari memberikan sinyal dan isyarat Oke pada mbak
icha.
Tak
lama memilih buku dan di bayarnya di meja kasir. Seruni tersenyum saja ketika
pertanyaan mbak icha kembali terlotar dengan nada yang sama dengannya.
“uni,
bagaimana kabarnya ratih?” tanya mbak icha
“pasti
ada jalan terbaik yang akan di pilihnya, makasih mbak diskonnya.. uni pamit.”
Ucap unni sambil mengecup kedua pipi saudara seimannya itu dan kembali
mengiringi langkahnya berjalan menjauh dari masjid kampus.
Jalan
ini nampak remang dari biasanya. Senja menjadikan jalan ini mungkin
menghadirkan kenangan yang telah terlewat. Baik Seruni atau ratih bukanlah
orang yang sempurna. Namun keduanya punya banyak kesempatan untuk terus
berusahan lebih baik. Dan kini apakah semua hanya sekeda kenangan yang tak
pasti adannya?
Dan
terdiam Seruni di ujung jalan. Ketika di lihatnya seorang saudara yang begitu
di sayanginya tengah duduk berdua dengan salah seorang senior. Tak sanggup
hatinya untuk menerima namun tangan dan kakinya hanya terdiam dalam dalam. Di
balikkannya badan. Tak mempu memangdang keduanya yang tengah bergumam sebari membentangkan
koran di sudut kampus.
“mereka
memang sering berdua. Makan bareng. Keluar bareng kalo malam sampai cubit
cibitan. Aku juga bingung seruni untuk menegurnya”
Kata
kata salah seorang kawan tentang kelakuan saudaranya itu begitu nampak
menyakitnya.
Ada
yang terluka yang menyakitkan walau tak berdarah. Tangan dan kakinya berdiam
namun hatinya menjerit. Ia tak kuasa berkutat dengan hal ini. hatinya kian tak
menentu untuk menerima bahwa saudara yang sekian kali menggaungkan tetang izzah
dan kelengkapan penjagaan tentang keistimewaan seorang perempuan. Malah seakaan
menjilat ludah sendiri dan menjadikan dirinya sendiri terjerembab pada cintanya
yang belum halal.
Seruni
mengambil langkah menjauh. Hatinya tak cukup kuat untuk melihat kedua orang itu
lebih lama. Tertatih di jauhinya kedua orang yang tak bersahabat dengan akhlak
yang seharusnya tidak di lakukan. Sungguh memalukan untuk mereka. Yang di
lihatnya bukan orang lain. Namun saudara seiman yang di cintainya. Ratih.
Comments
Post a Comment