bertahan atau tenggelam
“apakah
ini sudah rumah?”
Begitulah
sesekali aku harus bergumam sendiri di sudut kecil dari tempat kumpulnya
mahasiswa. Bagaimana ada berbagai pikiran yang berkecamuk yang tak lain adalah
soal kami. Kami? Atau aku saja ya? Namun sekali lagi dan sekali lagi. Apa yang
sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku persembahkan untuk punya ruang untuk
menilai? Bagaimana aku dapat menilai sebuah rumah ketika tinggal disana atau
lebih jauh apa yang sudah aku berikan untuk mewarnainya?
Itulah
yang sekian lama kian menghinggapi dalam pikiranku. Banyak hal yang butuh
terbaikan yang mendalam ke akarnya. Namun sampai saat ini hanya sampai dalam
taham analisis. Untuk lembaga kemahasiswaan yang baru di bentuk. Ini bukan hal
yang baru untuk kami. Lebih banyak ruang yang sebenarnya dapat kami jamah.
Bahkan terkadang aku harus gerak tersendiri.
Ada
punya banyak pengelolaan pemikiran yang terkondisikan dengan hal yang mememang
sudang mengondisikan dari awal. Mungkin inikan kenapa sulit melakukan gerakan.
Semakin banyak yang dulunya ikut andil dalam pembentukannya, maka akan banyak
tendensi yang berkecamuk di dalamnya.
Ketika
sore ini mulai menempuh jam yang beranjak senja. Dan kemudian langkah awal baru
kami lalui untuk keinginan perbaikan yang lebih baik. Maka seharusnya banyak
yang akan kami lakukan di hari kedepan. Mulai dari adanya mahasiswa baru yang
membutuhkan banyak advokasi sampai banyaknya komplain terkait beasiswa.
Menjelang
senja ini aku kembali terdiam. Di samping gurau canda kawan kawan ada yang
terlintas sedikit ketika kita memang harus membawa ruang cukup lebar untuk
perbedaan maka kita harus memeberikan ruang besar pula untuk kesabaran dan
toleransi. Namun keduanya punya batas untuk kembali di tata dalam aturan dan
pola realita yang harus dan seharusnya di lakukan. Bukan hanya sekedar
pemakluman. (arma-unnes)
Comments
Post a Comment