Selepas Hujan Reda
Sekolah di sore hari setelah hujan reda selalu menyimpan keindahan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Langit yang tadinya suram kini mulai berpendar jingga, meninggalkan jejak pelangi samar di ufuk barat. Aroma tanah basah menguar lembut, bercampur dengan dingin sisa hujan yang masih menggantung di udara. Lantai lapangan sekolah yang sebelumnya ramai dipijak kini memantulkan kilauan air yang tertinggal, seperti cermin besar yang menampilkan bayangan langit. Pohon-pohon di halaman tampak segar, daunnya berkilauan karena tetesan air hujan yang perlahan jatuh satu per satu, menambah harmoni pada suasana yang tenang.
Keheningan sore itu begitu kontras dengan keriuhan pagi yang penuh dengan langkah terburu-buru, suara tawa, dan panggilan guru yang saling bersahutan. Kini, hanya suara angin yang berdesir lembut di antara jendela-jendela kelas yang setengah terbuka. Di sudut-sudut koridor, genangan kecil air memantulkan warna oranye matahari sore, menciptakan pemandangan yang romantis dan damai. Bangku-bangku kayu di taman tampak kosong, tetapi seolah menyimpan cerita bisu dari mereka yang pernah duduk di sana—tawa pelajar, percakapan rahasia, hingga keheningan canggung dua hati yang saling terpaut.
Di lapangan, jejak kaki yang tertinggal di tanah basah bercerita tentang langkah-langkah yang telah berlalu, sementara langit sore membisikkan bahwa waktu tak akan pernah berhenti. Sore di sekolah setelah hujan seperti detik-detik di mana dunia melambat, memberi ruang untuk merenung, mengingat, dan merasa. Ia seperti kenangan yang menyapa, lembut namun begitu dalam. Di saat itu, keheningan menjadi teman, dan sekolah yang biasanya ramai kini berubah menjadi tempat yang penuh keajaiban, menyimpan romantisme yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup peka untuk menikmatinya.
Comments
Post a Comment