Eskrim Coklat dan Dua Sendok Merah
Di atas meja kayu kecil di bawah langit senja, ada segelas es krim coklat yang lembut, mengundang dengan kilaunya yang meleleh pelan di pinggir gelas kaca transparan. Di dalamnya, lapisan coklat gelap berbaur dengan remahan kacang dan sirup coklat kental yang melingkar sempurna, seperti lukisan manis yang dibuat dengan cinta. Dua sendok merah kecil tergeletak di sampingnya, polos namun penuh makna. Mereka bukan sekadar alat, tetapi simbol kehadiran dua hati yang saling berbagi, merasakan manisnya coklat yang meleleh di lidah dan berbagi tawa yang sederhana tapi tak tergantikan.
Ketika satu sendok diangkat, perlahan mengambil segumpal es krim yang mulai mencair, sendok lainnya tetap diam di sana, seperti menunggu giliran, menunggu seseorang yang akan mengambilnya. Sentuhan dingin es krim pertama terasa seperti kejutan kecil yang manis, membawa kenangan masa lalu—mungkin tentang masa kanak-kanak, atau tentang momen pertama kali berbagi sesuatu dengan seseorang yang istimewa. Sementara itu, sendok kedua akhirnya menyusul, mengambil bagian dengan cara yang sama, menciptakan ritme yang seolah-olah saling melengkapi, satu demi satu.
Setiap gigitan es krim coklat adalah kelezatan yang sederhana namun mendalam, seperti kebahagiaan yang tak perlu alasan besar untuk dirayakan. Dua sendok merah itu, kecil dan tampak biasa, justru menjadi saksi diam dari kebersamaan yang tak terucap, dari percakapan ringan yang dipenuhi tawa atau bahkan keheningan yang nyaman. Gelas es krim mungkin akan kosong pada akhirnya, tetapi rasa manisnya akan tetap tinggal, menyelinap di hati bersama ingatan tentang dua sendok merah yang pernah membagi manisnya hari. Sore itu, segelas es krim coklat dan dua sendok kecil mengajarkan bahwa kebahagiaan sering kali ada dalam hal-hal sederhana—dan bahwa berbagi, meski hanya sesuatu yang kecil, membuat segalanya menjadi lebih istimewa.
Comments
Post a Comment