Sudut Ruang Dunia
Untuk kesekian kalinya aku tersenyum.
Tingkah dan polah anak-anak selalu menggelitik untuk membuat segaris lengkungan
di wajahku. Tak henti mereka membuat berbagai gerakan yang berbeda dengan
intruktur mereka yang ada di depan. Hingga pandanganku beralih pada teman KKN
ku yang tengah mencoba bergerak sesuai dengan senam yang di ajarkan namun akhir
nya sia-sia karena anak-anak mengambil peran dan kreatifitas untuk membuat
gerakan sendiri. Dan pada guru di ujung ruangan nampak ikutan terpingkal
melihat kami.
Ini buakn kali pertama kali masuk ke
kelas untuk membantu para guru untuk salah satu program KKN. Program KKN yang
kami namakan dengan pemberdayaan TK. Hal yang seharusnya sesuai dengan jalannya
dengan rencana kami. Kami memberikan tips atau saran untuk mengajar anak-anak.
Atau bahasa kerennya memberikan metode pembelajaran untuk guru-guru di TK yang
notamennya tidak sekolah di keguruan dan hanya pengajar lepas di TK tersebut.
Namun apa mau di kata itu hanya berakhir sekedar rencana.
Kami sekali lagi harus mengelus dada
hingga akhirnya kelas selesai dan di akhiri dengan puluhan anak membuat barisan
untuk mencium tangan para guru dan kami. Dan hal ini yang membuat siluet
kenangan masa PPL terlintas kembali. Ingin rasanya air mata ini menetes namun
di cegah oleh cubitan salah seorang siswi dengan kerudung ungu meminta untuk
mencium pipiku. Manis sekali dia memberikanku sebungkus coklat coki-coki sesaat
kemudian. Terharu? Itu pasti.
Perbincangan dengan para guru bergulir.
Perbincangan tentang bagaimana suka duka mengelola TK di desa yang tengah
berkembang ini. TK yang sifatnya masih dalam proses pengembangan ini sempat
fakum bertahun-tahun karena peralihan kepengurusan yang belum tepat. Sehingga
belum bisa di berdayakan dengan baik. Sehingga baru 3 tahun berjalan ini
sekolah kembali aktif dengan tenaga pengajar seadanya dan dengan kesukarelaan.
“ berawal dari suka anak-anak saya kembali
ke sini selepas praktek bekerja ketika kuliah dulu mbak” ungkap salah satu guru
muda disana.
Dengan penghasilan yang tidak seberapa
yang di ambil dari iuran orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya di TK
tersebut. Mereka membuat perjanjian dengan guru yang aktif dan cuti. Sehingga
terdapat pergantian pengajar yang ada di sana setiap adanya kesempatan.
Dan ketika sempat ku tanyakan tentang
bagaimana bisa bertahan dengan keadaan sekolah yang seadanya hingga penghasilan
yang tidak menentu tetap menekuni pekerjaan ini, guru tersebut tersenyum .
“ibadah mbak, banyak guru yang cuti
hamil beberapa bulan yang lalu. Kelas kosong kalo ditinggal. Akhirnya saya
tetap aktif. Alhamdulillah kini ada yang sudah kembali aktif mengajar lagi.”
Jawabnya sambil merapikan letak jilbabnya.
Perbincangan kami mengalir. Bagaikan
bersama salah seorang kawan yang lama tak bertemu akhirnya kami mulai berbagai
rasa. Dengan senyuman dan gurauan di sela perbincangan kami terlihat bagaimana
tegarnya guru muda ini mengahadapi keadaan. Dari mulai tempat TK yang masih
belum tetap dan mereka hanya separuh menyewa dari pemilik TPQ yang dilaksanakan
di sore hari. Sehingga belum lengkap secara tempat dan administrasi tetap
selalu ada jalan TK yang belum sepenuhnya berdiri ini berjalan.
“kalo ndak ada TK ini. susah mbak. TK
yang lain jauh dari sini.” Ucapnya dengan Bahasa Indonesia namun lekat kental
dengan logat Tegal.
Entah dari mana asalnya. Namun begitu
mendengar ceritanya tersirat begitu jelas ketulusan yang ada di niatnya.
Ikhtiarnya yang begitu luar biasa. Bukankah orang-orang seperti mereka yang
seharusnya menjadi teristimewa di mata para pengajar para pengajar yang
sebenarnya. Bukan sekedar mengejar target pribadi semata. Namun juga menjadi
manfaat untuk lingkungan sekitarnya. Hingga
akhir perbincangan kami di sertakannya senyuman yang membuat kami bertekad
untuk kembali membantu di pagi harinya. Hingga akhir KKN kami laksanakan di
desa ini. Untuk seorang Arma ini salah satu agenda hunting foto.
Comments
Post a Comment