mengurai cerita dari sepotong kejadian dalam kehidupan..
Sejalan dengan apa yang ku hadapi aku selalu menguraikannya ke tulisan. Apapun itu ketika itu adalah bahagia atau tengah dirundung kabut kegelisahan. Kalaupun bukan masalah hidup aku tak enggan untuk mengurai segalanya. Bahkan tentang apa yang menjadi pemikiranku. Saat ini punya peluang menjadi segala yang aku mau. Tentang apa yang ku pahami, ku temukan bahkan mimpi yang kuharapkan.
Dan hari ini aku ingin banyak bercerita tentang perjalananku dengan anak-anak sungguh adalah perjalanan diri yang membuatku banyak belajar. Bahwa komunikasi itu penting. Bagaimana kita sebagai manusia memiliki banyak hal yang bisa dibagi dan menjadi sebuah arah yang lebih baik dari yang lainnya. Hari ini seperti biasanya aku mendapatkan banyak pelajaran.
Perjalanan kali ini aku bertemu dengan seorang penjual kacang, langkahnya pelan menghampiriku sebari menjajakan kacang yang di pikulnya di bahu. Dan perbincangan itu mengalir dengan bahasa jawa, namun bila dapat sedikit mengurainya bahasa indonesianya kurang lebih seperti iti.
“mau kacang, mbak?” gumamnya terakhirkali pada mbak” yang ada di samping kiriku yang hanya menggeleng dan kemudian berlalu. Nenek itu hanya menghela nafas dan menurunkan kerajang yang sedari tadi di pikulnya dengan sekuat tenaga di bawah pengaman jarit (kain batik) yang lusuh tertelan usia.
Awalnya aku hanya terdiam berbincang dengan sepi. Mataku sedikit menemukan tetes peluh di dahinya. Gurat wajahnya menguraikan berapa lama ia menjalani kehidupan ini dibawah naungan ilahi nan Maha Penyayang atas hambaNya.
“mbah, kacangnya berapa?” ucapku mengurai kebisuan diri atas bermacan pikir yang mengganjal dihati. Ada senyuman terukir disana. Ada binar yang tak terucap. Entah apa yang dapat ku artikan gerik tangan itu dengan sigap mengambil 2 bungkus kacang dan menawarkan padaku.
“5 ribu dapat 2,nduk” jawabnya.
Sekali saat itu dia mengambil bungkusan yang sudah di buka dan ditawarkannya padaku. Aku tersenyum.
“nggak mbah, terima kasih” ucapku sambil memberikan uang 10 ribuan.
“sedang puasa?” tanya mbah itu sambil kembali membungkus nya.
“Insya Allah , mbah” jawabku sambil tersenyum, “mbah buat sendiri?”
“iya , baru tadi pagi dibungkusin” ucap mbah itu sambil menepuk dagangannya.
Aku senpat melirik keranjang yang ada di depannya. Nampak masih penuh, hanya sedetik kemudian rasanya mbah itu tahu pertanyaanku.
“baru terjual 4 , nduk” ucapnya.
“agak sepi ya , mbah?” gumamku lirih.
“ya seperti inilah, untuklah nak membeli jadi paling tidak ada uang untuk membeli makan”
“maaf , mbah. Anak dimana?”
Comments
Post a Comment