Surat dari tanah rantau..
Jika berandai dengan melodi yang hadir pagi ini.
Sebuah harapan nampaknya adalah pelita yang hadir untukku. Bahkan mungkin untuk
semua anak seusiaku. Karena sebagai salah satu anak dari orang tua yang
merantau. Surat adalah satu-satunya bentuk perhatian yang di dambakan.
Untuk di jaman yang katanya era digital ini. Nampaknya
surat menjadi hal yang sudah tak lagi wajar untuk di selipkan dalam kata.
Mungkin kita lebih familiar dengan kata sms, email hingga fax itupun rasanya
sudah terlampau ketinggalan jaman. Namun tidak denganku, keterbatasan biaya
membuatku harus rela untuk berkeluh kesah dengan orang tua lewat sepenggal
kertas yang mampu ku genggam hingga ku peluk sebagai pelepas rindu.
Selain surat yang ku tunggu. Ada rutinitas yang memang
mengiringinya yang tak pernah jemu aku tunggu. Kedatangan tukang pos.
Berbeda dengan kebanyakan pemikian bahwa tukang pos
adalah bapak-bapak yang sudah mulai berumur dengan jaket orange kekuningan yang
mulai luntur di makan usia. Beserta sepeda yang mulai berkarat di kanan kirinya
hingga tak di ketahui oleh semua orang bagian bawah sepeda yang biasa di sebut
rem itu masih berfungsi atau tidak. No . berbeda.
Tukang posku adalah seorang pemuda paruh baya yang
dengan setelan necis dan rapi. Walaupun tak serapi orang kantoran dengan
setelan jas berdasi, namun baju yang selalu di setrika itu nampak di lipatan
celana hingga jaketnya yang masih berwarna orange cerah. Serta tak lain adalah
lipatan kemeja yang walaupun tak nampak mahal dengan merk branded namun cukup
layak untuk ku sebut dengan keren.
Rumahku berada dikawasan pinggian yang malah bisa di
sebut dengan desa karena jalanan yang mulai berrlombang setelah lima tahun lalu
hanya separuh jalan di bangun karena penyandang dana gagal untuk jadi DPR.
Dengan kesederhanaan rumah-rumah yang ada di kawasan ini heran rasanya ada
tukang pos yang keren begitu di tugaskan di tempat ini.
Dan pagi ini seperti biasanya tepat pada tanggal 4
setiap bulan ada suara gemerincing dari pintu pagar kayu rumahku. Gemerincing
itu di ikuti dengan sapaan khas yang sudah di kenali seisi rumah.
“permisi… ada surat” teriak tukang pos itu.
Dan tak lama selepasnya, Ratna, anak bungsu rumah ini
sekaligus adikku satu-satunya akan berlari ke pagar dan menerima surat itu. Dan
aku?
Jangan di tanya, aku akan langsung membuka jendela
dapur dan mulai memandangi tukang pos itu sebari tersenyum melihat kucir Ratna
yang mulai terlepas dari tempat yang seharusnya.
^^^^^^^^^_^^^^^^^^^^
Bagaimana menurut kalian keahlianku dalam mengolah
kata. Masih seperti dahulu, atau lebih elok lagi. Nampaknya lebih tepat ku
curahkan keahlianku menulis untuk fiksi seperti ini ya daripada kritik pada
pemerintah? Hihihi....
Comments
Post a Comment